Rabu, 14 April 2010

WAKTU HAMPIR BERKARAT





Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan,
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya,
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya,
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya,
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya


Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya:




Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ?
Dan kalau bukan milikku, 

apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, 

ketika titipan itu diminta kembalioleh- Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja 

untuk melukiskan kalau itu adalah sebuah derita

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku


Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku


Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:


Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, 
dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan sebagai kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku
Gusti, Padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.


"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"
(Puisi terakhir Rendra yang dituliskannya diatas ranjang rumah sakit)




Jumat, 09 April 2010

Anti Kemapanan

Anti Kemapanan

Dalam hal ini bukanlah berarti kita anti kemapanan secara "finansial".
Tidak dilarang, untuk mapan secara finalsial, untuk menjadi kaya, untuk berkecukupan secara "materi". Kenyataannya, dengan materi dan finansial yang berkecukupan, lebih dari apa yang kita butuhkan, maka akan semakin banyak orang yang dapat kita bantu (dalam hal materi). Tentu saja hal ini hanya terjadi jika kita bisa lolos dari cobaan/godaan materi tadi, tidak menjadikan harta, uang, atau materi apapun itu sebagai "tuhan".

Yang saya maksudkan dari anti kemapanan adalah gerakan untuk tidak terjebak dalam sebuah kondisi "mapan", sebuah zona aman dimana kita telah merasa "cukup".

Merasa telah cukup berpengetahuan, cukup untuk mengetahui segalanya, cukup untuk merasa paling pandai, cukup untuk merasa paling benar, yang akhirnya akan membuat kita enggan untuk belajar lagi, layaknya "katak dalam tempurung!".

Sungguh betapa besar makna dari perkataan Nabi Muhammad SAW, untuk terus belajar setiap saat, belajar mulai dari ayunan hingga liang lahat, belajar dari siapapun, kapanpun, dan dimanapun (dalam hadits diibaratkan hingga ke negeri cina sekalipun).

masalah terbesarnya yang layak disebut musuh untuk dilawan tidak lain adalah "diri kita", ego kita.
Seiring dengan semakin bertambahnya usia, semakin tingginya pendidikan, semakin tingginya derajat sosial, semakin banyak prestasi yang diperoleh, semakin banyak pengalaman yang didapat, semakin besar pula ego kita untuk merasa paling benar, terjebak dalam kondisi "mapan".

pertanyaannya adalah dengan cara apa kita melawan kondisi "mapan" ini ?

Ini adalah sebuah perjuangan tanpa akhir (ingat, sampai akhir hayat), sebuah proses, dan cara yang ditempuh tiap orang "tidaklah sama". kita lah yang tau tentang diri kita dan apa yang kita butuhkan. hadapi dan coba tetap temukan makna dari setiap hal-hal yang terjadi, baik yang kita inginkan ataupun sebaliknya.
karena apa yang kita inginkan belum tentu menjadi apa yang kita butuhkan.
Yang jelas, jangan pernah untuk merasa pandai, tapi teruslah untuk menjadi orang "bodoh".
(bodoh tanda kutip).

sekian.